BADAN Usaha Milik Negara tetap saja berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi BUMN dituntut menjadi unit bisnis murni, tetapi di lain sisi badan ini tetap saja menjadi sasaran kepentingan dan kerakusan politik untuk dijadikan kasir yang taat.
Itulah sebabnya mengapa BUMN di negeri ini belum muncul menjadi kekuatan ekonomi yang dahsyat. Mereka kalah dari swasta, karena terus digerogoti oleh kepentingan-kepentingan yang tidak sehat. Semakin nyaring para pejabat berjanji untuk membersihkan BUMN dari kepentingan politik, semakin kuat kecurigaan publik bahwa BUMN sesungguhnya tetap saja diperlakukan dengan cara-cara lama.
Kepentingan-kepentingan politik di dalam pengelolaan BUMN amat terasa ketika pemerintah sebagai pemegang saham mulai mengutak atik kepemimpinan. Ada sejumlah BUMN yang direksinya seharusnya sudah diganti tetapi tidak dengan mudah bisa dilakukan. Tetapi ada juga BUMN yang direksinya belum habis masa jabatan, sudah mulai digoyang dengan berbagai cara.
Selain terjebak pada kacamata politik bisnis BUMN, para petinggi di negeri ini tidak memiliki apa yang disebut dengan kepekaan pasar. Pejabat negara, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, Kepolisian tidak peduli terhadap dampak apa pun di pasar yang akan timbul sebagai akibat dari tindakan mereka terhadap BUMN.
Di Indonesia, seorang Gubernur Bank Indonesia begitu gampang mengeluarkan pernyataan kepada publik yang bisa mengguncang pasar. Padahal di negara lain, sebagai contoh, seorang Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral AS, sangat pelit berkomentar. Karena bila seorang Greenspan batuk saja, pasar uang dan saham pasti bereaksi.
Kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memperlihatkan kesadaran tentang sensitivitas pasar itu. Di saat kurs rupiah jatuh secara beruntun dalam sepekan, kehadiran Yudhoyono di Bursa Efek Jakarta mampu mengangkan kembali kepercayaan investor terhadap mata uang kita.
Tetapi dalam kasus Bank Mandiri, para petinggi negeri tidak memperlihatkan sensitivitas itu. Setiap hari pejabat kejaksaan, termasuk Jaksa Agung, mengumumkan secara terbuka kepada khalayak tentang para pejabat Mandiri yang diperiksa dalam kasus kredit macet di bank negara terbesar itu. Akibatnya, harga saham bank ini di bursa jatuh tidak terkendali.
Kredit macet, apalagi dalam jumlah di atas satu triliun rupiah, bagaimanapun juga harus dianggap sebagai masalah besar. Apalagi kalau kemacetan itu disebabkan oleh motivasi manipulasi dalam proses pengucurannya. Akan tetapi yang harus diperhatikan oleh para pejabat adalah bagaimana menangkap ikan tanpa mengeruhkan air. Inilah seni sekaligus asas yang harus diperhatikan dalam memperlakukan BUMN yang sudah go public.
Sensitivitas pasar adalah salah satu kata kunci yang hendaknya mendasari perilaku pejabat dan penguasa ketika bersentuhan dengan BUMN. Bila tidak, BUMN akan tetap kerdil karena digerogoti nafsu politik bisnis yang tidak sehat.
Asas profesionalisme dalam pengelolaan BUMN, memang, amat nyaring disuarakan para pejabat. Tetapi publik yang jeli dan kritis masih menyaksikan praktek lama, yaitu BUMN dijadikan sarang kepentingan dan deal politik. Kalau perilaku ini tetap saja dominan, lupakan saja impian bahwa di suatu saat nanti salah satu BUMN negeri ini akan menjadi perusahaan besar di kawasan Asia Tenggara, apalagi dunia.
Editorial www.mediaindo.co.id Kamis,28 April 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment